Hubungan Internasional

Total Pageviews

Hubungan Internasional

Tuesday, May 1, 2012

Biodata

 My Biodata

Name    : Guntor Octarezza Kusumah
Born      : Semarang,14 October 1994
From     : England
Address : Semarang Wologito Street 2

Tuesday, February 21, 2012



Hubungan Internasional menurut Buku Rencana Strategi Pelaksanaan Politik Luar Negeri RI, adalah hubungan antar bangsa dalam segala aspek yang dilakukan suatu negara demi mencapai kepentingan nasional negara tersebut. Dalam setiap perundingan biasanya menyangkut beberapa masalah pokok seperti : A. Masalah Politik B. Masalah Pertahanan dan Keamanan C. Masalah Pertikaian D. Masalah Perdagangan E. Masalah Ekonomi F. Masalah Sosial Budaya

PERIODE SOEKARNO

Hubungan antara Indonesia dengan Australia pada tahun 1945-1950 sangat kuat. Pada saat itu, Australia mendukung gerakan kemerdekaan Indonesia. Pada awal usaha mendapatkan pengakuan kedaulatan dari Belanda melalui perundingan yang dirangkum dalam perwakilan tiga negara, Indonesia menunjuk Australia sebagai mediator dalam perundingan.

Perjalanan hubungan Indonesia dan Australia pertama kali ditandai pada masa perjuangan Indonesia untuk kemerdekaan. Pada masa kepresidenan Soekarno, Indonesia menjalankan politik luar negeri yang militan dalam usaha menggalakkan kampanye pembebasan Irian Barat, hubungan diplomatik keduanya pun dinilai dingin (Suryadinata, 1998,p115.).

Pada tahun 1949, terjadi pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda. Akan tetapi muncul isu Belanda tidak berniat melepaskan Irian Barat. Sebaliknya Soekarno bersikeras ingin menjadikan Irian Barat masuk dalam Indonesia karena Irian Barat bekas jajahan Belanda. Pada poin ini, hubungan antara Indonesia dengan Australia merenggang karena Australia mendukung Belanda. Australia dibawah pemerintahan Menzies Australia melihat tindakan Soekarno sebagai ekspansi teritori yang dikawatirkan menjadi ancaman keamanan Australia (Suryadinata, 1998).

Pada tahun 1961, sikap Australia terhadap Indonesia perlahan-lahan melunak. Bila terjadi perjanjian yang damai dan sah antara Indonesia dengan belanda tentang masa depan Irian Barat, maka Australia akan menyetujui keputusan tersebut. Kemudian pada tahun itu pula menteri luar negeri Australia Barwick menyatakan bahwa tidak ada alasan bagi Australia untuk takut terhadap klaim Indonesia atas irian Barat. Barwick juga mengubah haluan Australia yang kemudian mendukung Indonesia asal semua berjalan dengan damai. Menzies sepakat dengan Barwick dan setuju atas kontrol Indonesia terhadap Irian Barat walaupun banyak dikritk oleh opini publik. Pertimbangan Australia mendukung Indonesia adalah karena kerjasama dengan Indonesia akan lebih menguntungkan dari pada dengan Belanda, Australia ingin menghindari peperangan dengan negara tetangga terdekat dan mispersepsi tentang Indonesia.

PERIODE SOEHARTO

Pada masa pemerintahan Soeharto, yang menjadi isu dalam hubungan diplomatik Indonesia-Australia adalah Timor timur (pemberontakan Fretilin) 1974-1982, peristiwa D Jenkins yang berbuntut pertentangan dengan pers Australia 1976-1986, Timor timur II 1991,

Hubungan diplomatik sepanjang 1974 antara pemerintahan Soeharto dan PM Australia, Gough Whitlam tercermin dalam sikap kooperatif Australia manakala Timor timur hendak diintegrasikan ke dalam wilayah Indonesia secara damai (Suryadinata, 1998, p.116). akan tetapi, tindakan Indonesia yang melakukan pendudukan agresif di Timor timur dikritik publik Australia dan akhirnya pemerintah Australia pun mengkritiknya di PBB. Kritik ini diyakini muncul akibat aksi invasif Indonesia yang mengakibatkan lima wartawan Australia tewas. Sejak saat itu, pers Australia gencar melakukan pemberitaan yang konfrontatif dan kritis terhadap Indonesia.

Ketika kursi perdana menteri dipegang oleh Malcolm Fraser pada 1976. Indonesia masih kerap mendapatkan kritik tajam dari Australia, antara lain Fraser dan James Dunn, mantan konsul Australia di Timor Timur 1977. Pada 1982, hubungan diplomatik Indonesia-Australia mulai meninggalkan isu Timor Timur, ketika PM Australia, Anthony Street mengajak masyarakat Internasional untuk mulai mengesampingkan isu tersebut (Suryadinata, 1998, 118).

Konflik pers Australia menyusul pemberitaan oleh D Jenkins (1986) mengakibatkan pembekuan hubungan Indonesia dengan Australia secara sepihak (Suryadinata, 1998, p. 118-120). Hal itu dianggap oleh pemerintah Indonesia sebagai cermin dari kemarahan dari rasa tersinggung terhadap pemberitaan yang mengungkap jaringan usaha Soeharto, singkat kata nepotisme. konflik Indonesia melawan publik pers Australia semata-mata merupakan mispersepsi yang terjadi seputar arti dan implementasi demokrasi masing-masing, yang mana demokrasi di Australia mengijinkan seluas-luasnya kebebasan pers dan berpendapat di daerahnya, sementara saat itu pemerintah Indonesia masih tertutup dari keterbukaan yang demikian yang menjadi karakter era Soeharto yang terlalu proteksionis.

Masa Menteri Luar Negeri Ali Alatas, menggunakan pendekatan personal antara Alatas dengan PM Australia Gareth Evans, hubungan bilateral kedua negara pun melunak kembali hingga isu Timor Timur untuk kedua kalinya muncul ke permukaan di tahun 1991 (Suryadinata, 1998, p.122). Meskipun isu Timor timur tidak menghilang, peran PM Australia Paul Keating dalam menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia dinilai sangat akomodatif dan kooperatif, lebih singkat Suryadinata (1998) menjelaskan bahwa semata-mata dikarenakan adanya pergeseran kepentingan Australia terhadap isu pembangunan blok kepentingan ekonomi non-China yang memposisikan Indonesia sejajar dengan Vietnam dan Australia untuk tidak terlibat ke dalam orbit China. Kemudian hubungan baik Indonesia-Australia dengan berhasil diimplementasikan ke dalam penandatangan perjanjian seputar penghormatan keamanan kemerdekaan politik dan keutuhan wilayah kedua negara (Suryadinata, 1998, p.124).

Kerjasama Bilateral Indonesia dan Australia

Sebelumnya telah diulas secara historis ikatan hubungan diplomatik bilateral antarkedua negara. implementasi hubungan diplomatik yang ideal adalah terjalinnya suatu kerjasama berdasarkan mutual understanding antara lain meliputi berbagai aspek sebagai berikut: (1) Standarisasi melalui MoU Concerning cooperation on Standards and Conformance.(2) Perdagangan, direfleksikan melalui Agreement, A trade agreement between the republic of Indonesia and the Commonwealth of Australia nota persetujuan dagang no agenda 346. (3) kultur melalui Cultural Agreement between the Government of republic Indonesia and the government of Commonwealth of Australia. (4) Ekonomi melalui Exchange of Letters. (5)Wilayah melalui Establishing Certain Seabed Boundaries dll. (dephan.gov.id)

HUBUNGAN INDONESIA-TIMUR TENGAH

Islam dan Politik luar negeri. Seringkali hubungan bilateral Indonesia dan Timur tengah disinergikan dengan adanya atribut nasional Indonesia yang demografi penduduknya terdiri dari mayoritas muslim. Susunan demografi tersebut akankah membentuk opini publik domestik yang cenderung condong kepada simpati terhadap konflik-konflik di Timur tengah, seperti Palestina-Israel, Lebanon? Seringkali pula observasi politik luar negeri Indonesia dan Timur tengah jatuh dalam kerangka kepentingan domestik dan situasi domestik. Berbagai tulisan telah dihasilkan oleh Bantarto Bandoro (1994) dan Leo Suryadinata (1998) dapat menjadi referensi yang berguna untuk membantu menjawab seputar isu dan hubungan diplomatik Indonesia dan Timur tengah dalam kerangka politik luar negeri, baik era Soekarno dan Soeharto secara singkat di bawah ini.

Fokus pembahasan seputar hubungan Indonesia-Timur dipaparkan sepanjang pemerintahan Soekarno dan Soeharto. Hubungan diplomatik Indonesia dan Timor tengah menurut Suryadinata (1998) secara garis besar dilatarbelakangi oleh isu seputar Organisasi Pembebasan Palestina, Organisasi Konferensi Islam, invasi Irak ke Kuwait dan isu Bosnia.

PERIODE SOEHARTO

Pernyataan Soeharto (1987) yang menegaskan posisi Indonesia dalam memandang konflik Palestina antara lain menilai keadilan mesti diberikan kepada rakyat Palestina. Hubungan Indonesia-Palestina ditandai oleh pembukaan kedutaan Palestina di Jakarta sesuai dengan permintaan Yasser Arafat ketika digelar Konferensi Non-Blok di Beograd, Yugoslavia (1989).

Hubungan bilateral Indonesia-Irak lebih banyak dilandasi oleh sikap netral terhadap berbagai isu internasional berhubungan langsung dengan Irak antara lain invasi Irak ke Kuwait (1991). Posisi Irak sebagai anggota Non-Blok menjadi pertimbangan penting bagi Indonesia untuk menerapkan posisi netral, sekaligus mencerminkan kapabilitas Indonesia memainkan peran yang lebih independen sebagai reaksi terhadap adanya embargo ekonomi dan resolusi PBB (Suryadinata, 1998, p.211).

Berbeda dengan Irak, politik luar negeri Indonesia dalam menjaga hubungan diplomatik dengan Iran terletak pada soal keamanan. Hubungan bilateral Indonesia-Iran terjalin dengan baik semasa Iran dipimpin oleh Syeh Iran. Akan tetapi, revolusi Iran pada 1979 mengakibatkan Indonesia bersikap hati-hati.

Hubungan Indonesia dengan Saudi Arabia selama ini sangat banyak ditentukan oleh bagaimana Saudi Arabia memberikan feedback layanan haji bagi jemaah Indonesia. Insiden Mina (1990) yang mengakibatkan 700 jemaah haji Indonesia meninggal yang tidak ditanggapi oleh pemerintah Saudi secara intensif, mengakibatkan Indonesia cenderung mengambil langkah hati-hati.

Secara singkat dalam tulisannya tentang hubungan Indonesia denga Timur Tengah, Suryadinata (1998,p.207) hubungan Indonesia dan Libia pada era orde baru tidak terlalu akrab karena anggapan militer Indonesia yang percaya bahwa Libia mendukung gerakan separatis Islam di Aceh.

Isu yang paling monumental sepanjang sejarah pergolakan politik di Timur tengah adalah meletusnya perang Teluk I & II, perang Irak, embargo udara oleh Pemerintah Saudi, konflik Palestina-Israel. Sikap Indonesia terhadap peristiwa tersebut di atas adalah tetap menjaga langkahnya dalam posisi netral dan hati-hati. Ini selaras yang diungkapkan oleh Menlu Ali Alatas ketika dikonfirmasi mengenai Perang teluk I, sebagai contoh, ia mengungkapkan bahwa Indonesia tidak dapat masuk ke dalam krisis teluk secara tiba-tiba dan menwarkan solusi terhadap konflik tersebut. (konsekuensinya) Indonesia akan terpental ke luar, sebagaimana ia mengilustrasikan bahwa indonesia juga tidak menginginkan Aljazair dan Mesri masuk ke dalam isu Kamboja secara tiba-tiba (1991).

Implementasi kerjasama Indonesia dan negara Timur tengah secara lengkap dapat terlihat melalui penandatangan perjanjian dan serangakaian MoU yang memuat keseluruhan aspek meliputi ekonomi, wilayah, perdagangan, kebudayaan, teknis dan lain-lain seperti yang tertera di departemen pertahanan dan keamanan Indonesia (www.dephan.gov.id). Secara asosiatif, implementasi kerjasaman Indoenesia dapat dilihat dari partisipasinya dalam berbagai institusi internasional seperti OKI (1969) yang bertujuan untuk meningkatkan solidaritas Islam di antara negara anggota, serta mengkoordiasikan kerjasama antarnegara anggota, mendukung perdamaina dan keamanan internasional dan melindungi tempat-tempat suci Islam serta membantuk pembentukan negara palestina yang merdeka dan berdaulat (www.deplu.go.id); dan G15 sebagai wadah kerjasama ekonomi dan pembangunan negara-negara berkembang yang terdiri dari Mesir, Indonesia, Iran, Aljazair, Aegentina, Braxil, Chile, Kolombia, India, Jamaika, Kenya, Malaysia, Meksiko, Nigeria, Peru, Senengal, Sri Lanka, Venezuela dan Zimbabwe (www.deplu.go.id); dan D-8.

ANALISIS

Kebijakan suatu negara pada umumnya merupakan reaksi yang terjadi akibat interaksi antarnegara mengenai satu peristiwa tertentu yang terjadi. Berbagai perkembangan tipikal bisa menimbulkan perubahan arah kebijakan (Bandoro, 1994). Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, kita belajar dari fluktuasi hubungan Indonesia dan Australia yang mana setiap pemegang pemerintahan tertinggi membawa karakteristik arah diplomasi politik yang berbeda. Sewaktu-waktu jika menteri luar negeri Indonesia dan presidennya sanggup berinteraksi secara kooperatif dengan perdana menteri Australia, maka terdapat kecenderungan keduanya bisa meredakan ketegangan bahkan sebaliknya menciptakan kerjasama dan kesepakatan pada akhirnya. Begitu pula sebaliknya, jika kedua pihak membawa sikap ofensif dan saling kritik tanpa adanya niat untuk menjalin kepahamanan, maka yang terjadi adalah ketegangan. Peristiwa dan isu domestik berpotensi besar mengundang kritikan dari masyarakat internasional, tentu saja itu dikarenakan Indonesia selalu berdekatan dengan negara lain. Selain itu, belajar dari hubungan Indonesia dan Australia, kita mengetahui bahwa pers (media dan informasi) bisa bertransformasi menjadi batu sandungan hubungan bilateral. Oleh karena itu, penting sekali bagi decision maker untuk mempelajari isu pers secara lebih intensif sebelum membekukan secara sepihak hubungan diplomatik. Dari berbagai pergolakan politik di timur tengah, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa di tengah konflik internal suatu negara, asas non-intervensi mesti diletakkan sebagai prioritas fundamental membangun sikap hati-hati agar tidak dengan mudah terperosok pada konflik yang sudah terjadi. Selain itu, posisi yang mungkin dimiliki oleh negara lain terhadap indonesia juga menjadi pertimbangan utama menentukan sikap politik agar tidak memperparah kondisi dan situasi, misalnya perang teluk I yang melibatkan Irak; Indonesia mesti mempertimbangkan posisi dan partisipasi politik Irak sebagai sesama gerakan Non-Blok.